Pekerjaan pilot mungkin masih
terdengar canggung bagi seorang wanita, akan tetapi tidak bagi wanita asal kota
kembang ini. Namanya adalah Sarah Kusuma, di usianya yang masih belia, ia telah
menjadi seoarng pilot wanita yang menerbangkan pesawat ke pelosok nusantara,
bahkan ke kota – kota mancanegara. Bukan hal mudah bagi seorang wanita untuk
menjadi seorang pilot. Harus lulus uji nyali yang bisa membuat jantung copot.
Sarah Kusuma |
Begitu berada di ketinggian 3.000
feet, mesin tiba-tiba dimatikan dan pesawat menukik tajam untuk beberapa saat.
Sarah Kusuma yang seumur-umur belum pernah naik pesawat sempat syok. Tapi ia
berupaya keras mengendalikan diri agar tidak panik berlebihan.
Itulah uji nyali paling dramatis
yang berhasil dilalui dan mengantarnya untuk mengikuti pendidikan sebagai
penerbang dengan gratis.
Sebetulnya cita-cita utama perempuan
kelahiran Bandung, 3 Maret 1988 itu adalah menjadi dokter. Tapi ia harus
mengubur cita-cita tersebut karena kondisi keuangan orang tuanya tak
memungkinkan mereka merogoh kocek hingga ratusan juta rupiah untuk
membiayainya. Karena itu, selepas lulus dari SMA Negeri 7 Cikokol, Tangerang,
pada 2005, Sarah berupaya mencari tempat kuliah yang gratis. Sekolah Tinggi
Penerbangan (STP) di Curug-lah yang kemudian dipilihnya.
“Karena jurusan pilot sudah beberapa
tahun vakum, saya pilih jurusan teknik pesawat. Tapi akhirnya saya menganggur
karena tidak lulus,” kata sulung dari empat bersaudara itu saat disambangi
Tempo di kediamannya di Graha Raya Bintaro, Selasa, 2 Agustus 2011 petang.
Tak putus asa, tahun berikutnya
Sarah kembali mendaftar dan memilih jurusan penerbangan yang baru kembali
diaktifkan. Selama menganggur, hari-harinya diisi dengan membantu sang ibu
berbisnis kecil-kecilan dan sempat menjadi tenaga penjual peralatan komputer.
Di STP Curug, gadis dengan tinggi
badan 165 sentimeter dan berat 52 kilogram itu menjadi satu-satunya siswa
wanita dari 35 siswa lainnya. Prestasi akademisnya yang mencorong membuat
maskapai Garuda meliriknya beberapa bulan sebelum masa pendidikannya berakhir
pada 2009. Kini ia menjadi bagian dari enam pilot wanita di lingkungan maskapai
terbesar di Tanah Air itu.
Tak cuma menyinggahi kota-kota di
pelosok Nusantara, beberapa kota mancanegara, seperti Singapura, Kuala Lumpur,
Bangkok, dan Hong Kong telah disinggahinya. Bahkan sejak April lalu, Sarah tak
cuma menerbangkan Boeing 737 tipe klasik, tapi juga yang mutakhir: Boeing 737
Next Generation. “Besok pagi saya terbang ke Perth lewat Denpasar,” ujarnya.
Menjadi pilot juga bukan pilihan
utama Allendia Traviana. Ia yang bercita-cita menjadi dokter gigi itu diterima
di Fakultas Psikologi Universitas Negeri Solo pada 2007. Tapi karena kalkulasi
biaya, ia akhirnya memilih ke sekolah penerbang Aero Flyer Institute milik
Batavia Air. “Saya mengikuti ikatan dinas dengan Batavia selama 16,5 tahun
sejak masa pendidikan selama dua tahun,” kata Allen.
Anak bungsu dari M. Budi Kuntjo dan
Mieke Radiana itu kini menjadi satu dari dua pilot perempuan di maskapai swasta
itu. Ia dipercaya menerbangkan Boeing tipe 737-300, 400, dan 500 untuk rute
domestik. Ia pertama kali menerbangkan penumpang dari Jakarta ke Ambon yang
dikenal punya kesulitan tersendiri untuk mendarat. “Begitu landing dengan
mulus, saya langsung telepon mama. Wah rasanya campur aduk deh. Dari semula
beban, menjadi bahagia, bangga, dan haru,” ujar Allen.
Setiap kali akan terbang, gadis
kelahiran Kupang, 10 November 1989 biasa memperhatikan gerak-gerik para calon
penumpang dari jendela kokpit. “Beragam ekspresi mereka membuat saya fokus
dalam bekerja,” ujar Allen.
Esther Gayatri Saleh |
Lain lagi dengan Capt. Esther
Gayatri Saleh. Selama lebih dari 20 tahun, ia melakoni pekerjaan sebagai pilot
penguji di PT Dirgantara Indonesia. Hampir semua jenis pesawat yang diproduksi
PT DI, perempuan kelahiran Palembang, 3 September 1962 itulah yang pertama kali
menguji, apakah pesawat layak terbang atau tidak. Esther juga melatih para
pilot yang akan menerbangkan pesawat-pesawat yang dibeli dari PT DI, baik tipe
militer maupun penumpang.
Kualifikasi untuk menjadi pilot
penguji tentu lebih rumit dan minimal harus punya jam terbang antara
1.500-2.000 jam. “Biaya pendidikannya juga sangat mahal, sedikitnya 1 juta
dolar,” kata Esther yang lulusan Sawyer School of Aviation, Phoenix, Arizona,
Amerika.
Mahalnya biaya pendidikan, ia
melanjutkan, perusahaan sekelas Boeing pun cuma punya 40 pilot penguji. “Yang
disekolahkan khusus hanya empat orang, selebihnya dididik internal oleh pilot
penguji di perusahaan itu,” ujarnya.
Profesi pilot tidak akan pernah
lepas dari pendidikan. Mulai dari training yang harus dilalui untuk bisa
menerbangkan jenis pesawat tertentu, hingga training yang dipersyaratkan untuk
standar keselamatan yang harus dijabaninya tiap 6 bulan. “Anda jadi pilot harus
sudah siap sekolah terus sampai tua,” kata Esther.
Bagi calon pilot, mulai dari seragam
dan topi yang dikenakan melambangkan pengetahuan dan kemampuanya. Tanda pangkat
di pundak melambangkan tanggung jawab dan tanda sayap (wing) di dada untuk
mengingatkan bahwa manusia bukan burung. “Terbang itu passion. Jadi tanda wing
itu taruh dekat hati,” ujar Esther tegas.
Sumber: http://berita-baru.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar